MENYELESAIKAN KONFLIK PERTANAHAN
Setiap Orang berhak memiliki harta,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Dan tidak
seorangpun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena.
(Pasal 17,
Deklarasi Hak-Hak asasi Manusia).
Kekuasaan sejak dulu selalu bermuka dua, amat
mempesona tetapi sekaligus menakutkan. Mungkin kata-kata itulah yang paling
tepat menggambarkan situasi konflik pertanahan di Kota Cirebon. Sengketa
pertanahan ini sudah berlangsung sangat lama. Dari waktu kewaktu dari zaman ke
zaman, Walikota lama hingga Walikota baru selalu jadi sengketa. Demikian
tulisan dalam “Sorotan” harian ini (1/12).
Mengapa kekuasaan yang menjadi kata pembuka saya dalam tulisan ini?. Karena
menurut saya awal konflik pertanahan ini, bermula dari kekuasaan yang dimiliki
Pemerintah sebagai Badan Penguasa, untuk menetapkan sesuatu menjadi apa,
menjadi milik siapa atau diberikan kepada siapa?. Karena berawal dari
kekuasaan, untuk menyelesaikannya juga harus melalui kekuasaan, yaitu
kekuasaan yang dijalankan dengan itikad dan kemauan baik yang bertujuan untuk
menyelesaikan konflik pertanahan ini. Kekuasaan yang saya maksud adalah
kekuasaan (terutama kekuasaan secara politis) yang dimiliki oleh Pemerintah
yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Cirebon.
Dalam masalah pertanahan di Cirebon ini, saya cenderung menggunakan istilah
“konflik pertanahan” (meminjam istilah Noer Fauzi) dibandingkan sengketa
pertanahan, sebab sengketa yang berlarut-larut pada akhirnya akan menjadi konflik,
dan itulah yang terjadi di Cirebon saat ini.
Seperti kita ketahui, pengambil-alihan tanah-tanah milik Kesultanan-Kesultanan
di Cirebon oleh Pemerintah Kota Cirebon (ketika itu Pemerintah Kota Praja
Cirebon) dilakukan melalui Panitia Landreform Kota Praja Cirebon, dengan Surat
Keputusan Nomor: 179/Agr/8/61 tanggal 24 Desember 1961 dan Pengumaman Nomor
1/Peng/61/tanggal 28 Desember 1961, terhitung mulai tanggal 24 September 1961.
Pengambil-alihan itu dilakukan berdasarkan “kekuasaan” yang diberikan oleh
Undang-Undang No.56 Prp tahun 1960 kepada Panitia Landreform yang dibentuk oleh
Pemerintah untuk melaksanakan Landreform, karena tanah-tanah Kesultanan di
Cirebon itu dianggap sebagai tanah Swapraja/bekas Swapraja, sebagaimana ditentukan
dalam Diktum ke Empat huruf a UUPA.
Tetapi masalahnya adalah, jika tanah-tanah itu dianggap sebagai tanah
Swapraja/bekas Swapraja, maka Pemerintah harus
dapat
membuktikan bahwa Cirebon dahulunya adalah merupakan Daerah Swapraja/bekas
Swapraja, sehingga tanah-tanah Kesultanannnya termasuk dan dapat dikategorikan
sebagai tanah Swapraja/bekas Swapraja.
Hal inilah yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah selaku Badan Penguasa
yang merupakan pemegang kekuasaan. Pada saat itu hampir diseluruh daerah di
Indonesia muncul gerakan-gerakan “revolusioner” yang menghendaki agar
daerah-daerah Swapraja/Swatantra yang masih ada segera dihapuskan, karena
dianggap sebagai peninggalan penjajah Belanda sekaligus sebagai upaya untuk
menghapuskan Feodalisme.
Bagaimanakah dengan Cirebon, dapatkah Cirebon dikategorikan sebagai daerah
Swapraja/bekas Swapraja seperti ditafsirkan oleh Pemerintah?. Apa yang menjadi
kriteria untuk menetapkan suatu daerah adalah merupakan daerah Swapraja?.
Ternyata criteria itu tidak pernah ada, lebih tragis lagi, penetapan Cirebon
sebagai daerah Swapraja/bekas Swapraja hanya dilakukan berdasarkan tafsiran
sepihak dari Pemerintah belaka karena di Cirebon masih terdapat beberapa
Keraton Kesultanan, maka Cirebon dianggap dan ditetapkan sebagai daerah
Swapraja/bekas Swapraja, sehingga tanah-tanahnya juga merupakan tanah
Swapraja/bekas Swapraja.
Tindakan Pemerintah itu tidak dapat dibenarkan,
karena hingga saat ini tidak ada satu peraturan perundang-undangan-pun yang
dapat dipakai sebagai alasan pembenar tindakan Pemerintah untuk melakukan
pengambil-alihan tanah-tanah itu. Mengapa demikian? sebab baik UUPA maupun UU
No.56 Prp 1960 serta PP 224 tahun 1961 sebagai salah peraturan pelaksanaan
undang-undang itu, jangankan mengatur secara jelas dan tegas, bahkan memberikan
pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan Swapraja/ daerah Swapraja itu saja
tidak ada. Bahkan UUD 1945 juga tidak menyebut daerah Swapraja.
Kenyataan itu telah berkali-kali disuarakan oleh Kesultanan Kasepuhan Cirebon,
tetapi hal itu selalu dibantah pula oleh Pemerintah, baik Pemerintah pusat
maupun Pemerintah Kota Cirebon.
Secara politis Cirebon tidak pernah menjadi daerah Swapraja, melainkan
merupakan daerah pemerintahan langsung Belanda, setelah mendapatkan kembali
kekuasaanya dari Inggris. Demikian pula halnya dari sisi histories, Cirebon
adalah daerah yang benar-benar merdeka dan terbebas dari kekuasaan Belanda
maupun Mataram. Cirebon tidak pernah takluk secara Militer baik kepada Mataram
maupun Belanda.
Kekuasaan Kesultanan di Cirebon sebagai Pemerintah hanya berlangsung sampai
dengan tahun 1813, yaitu saat diserahkannya kekuasaan politik dan wilayah
kekuasaanya kepada Inggris. Sejak saat itu Cirebon tidak lagi merupakan
kerajaan, melainkan merupakan daerah kekuasaan langsung Belanda. Maka Cirebon
secara histories juga tidak pernah menjadi daerah Swapraja.
Lange Contracten dan Korte Verklaring sebagai syarat mutlak untuk melaksanakan
pemerintahan sendiri, baru dibuat untuk pertama kali tahun 1919 yang ditetapkan
melalui Staatsblad No.822 tahun 1919. Jadi ada rentang waktu 100 tahun
sejak saat berakhirnya Cirebon sebagai suatu kerajaan, dengan saat dibuatnya
perjanjian Swapraja antara Belanda dengan seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di
Indonesia. Artinya Kesultanan Cirebon sebagai penguasa telah berakhir
selama 100 tahun sebelumnya, barulah perjanjian Swapraja antara Belanda sebagai
“Tuan Besar” dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia dibuat. Ada 15 Kerajaan yang
melakukan perjanjian Lange Contracten itu dengan Belanda dan 268 lainnya dalam
bentuk Korte Verklaring, jelas Cirebon tidak termasuk didalamnya.
Secara yuridis, Cirebon juga tidak bisa kategorikan sebagai daerah
Swapraja/bekas Swapraja. Karena tidak ada UU maupun Peraturan
Pemerintah yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan Cirebon sebagai
daerah Swapraja. Bahkan sekalipun yang dipakai adalah UU peninggalan pemerintah
Belanda, Cirebon tidak dapat dikategorikan sebagai daerah Swapraja/bekas
Swapraja. Disamping itu pengertian Swapraja itu sendiri juga tidak dijelaskan,
maka yang terjadi adalah penafsiran sepihak oleh Pemerintah dengan kekuasaannya
Selaku Badan Penguasa.
Jadi bagi setiap orang yang masih mempunyai logika dan akal yang sehat, sangat
dapat memaklumi mengapa Keraton Kesultanan Kasepuhan, hingga saat ini
tetap berpendapat bahwa Cirebon bukan daerah Swapraja/bekas Swapraja karena
Cirebon tidak pernah menjadi daerah Swapraja, sehingga tanah-tanahnya bukan
merupakan tanah Swapraja/bekas Swapraja.
Disamping itu jika seandainya, sekali lagi jika seandainya Cirebon
memang merupakan daerah Swapraja/bekas Swapraja seperti selama ini dinyatakan
Pemerintah, Pemerintah juga tidak dapat dengan semena-mena mengambil
tanah milik Keraton Kesultanan Kasepuhan tersebut. Menurut PP 224 tahun 1961
Pasal 4 ayat 1&3, terhadap tanah-tanah yang diambil alih oleh pemerintah
itu, tetap harus diberikan ganti rugi.
Hak-hak pemilik tanah itu harus tetap diperhatikan, kepada pemilik tanah akan
diberikan sebagian tanah yang diambil, sebagian lainnya diambil untuk keperluan
pemerintah dan sebagian lainnya diredistribusikan kepada rakyat yang
membutuhkan. Bagian yang akan
dikembalikan kepada pemilik itu letak dan luasnya akan ditetapkan oleh Menteri
Agraria setelah mendengar Mnteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Sekarang marilah kita bertanya kepada Pemerintah Kota Cirebon, jika
memang Cirebon dianggap sebagai daerah Swapraja/bekas Swapraja, apakah
Pemerintah Kota Cirebon sudah memberikan hak yang seharusnya diterima
oleh Keraton Kesultanan Kasepuhan sebagai pemilik tanah?, jika hak itu sudah
diberikan dimana letaknya dan berapa luasnya dan bilakah hal itu dilakukan?.
Kepada Keraton Kesultanan Kasepuhan, apakah sudah pernah menerima ganti rugi
dari Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kota Cirebon?, dan
apakah tanah yang merupakan hak Keraton Kesultanan Kasepuhan Cirebon sebagai
pemilik tanah telah diberikan sesuai dengan Pasal 4 ayat 1&3 PP 224 tahun
1961 tersebut?.
Andai saja ganti rugi itu dan pengembalian sebagian tanahnya yang seharusnya
diterima oleh Keraton Kesultanan Kasepuhan sudah pernah diberikan oleh
Pemerintah, mungkin permasalahannya tidak akan menjadi berlarut-larut seperti
saat ini.
Keraton Kesultanan Kasepuhan meng-kalim bahwa pengembalian sebagian tanah-tanah
itu belum pernah dilakukan oleh Pemerintah, permasalahannya adalah, apakah
tanah-tanah itu sekarang masih ada?. Jika ada, yang mana saja yang merupakan
tanah-tanah Swapraja itu?, jika sudah tidak ada lagi, kemanakah gerangan
perginya tanah-tanah itu? (karena tanah itu tidak mungkin lenyap atau hilang
dengan sendirinya atau secara tiba-tiba). Jika dialihkan atau dijual, siapa
yang mengalihkan atau menjualnya?. Dan bagaimana pertanggung jawaban
hukumnya, baik kepada Keraton Kesultanan Kasepuhan sebagai pemilik tanah yang
seharusnya menurut hukum mendapat sebagian dari tanah itu maupun kepada rakyat
sebagai pemilik negeri ini?( Vox Dei’ Vox Populi).
Pemerintah Kota Cirebon harus segera menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dan sekaligus menyelesaikannya, jika tidak ada penjelasan dan penyelesiannya, maka
konflik pertanahan ini tidak akan pernah berakhir dan saya perkirakan akan
semakin berkembang dan membesar.
Saya katakan akan semakin membesar, karena jika keberadaan tanah-tanah itu
tidak bisa dipertanggung jawabkan, baik Cirebon dianggap sebagai daerah
Swapraja, apalagi jika kelak ada keputusan bahwa Cirebon ternyata bukan daerah
Swapraja, maka yang akan muncul bukan hanya mengenai konflik kepemilikan yang
berlarut-larut, melainkan juga akan ditambah dengan pertanggung-jawaban
terhadap “menghilangnya” tanah-tanah itu.
Pertanggung jawaban itu tentu bukan terhadap negara sebagai Badan Penguasa,
melainkan terhadap oknumnya. Pertanggung jawabab Pemerintah sebagai Badan
Penguasa adalah terbatas kepada terjadinya “salah ambil” tanah milik pihak
Keraton Kesultanan Kasepuhan yang penyelesaianya umumnya adalah dengan ganti
rugi. Sedangkan tanggung jawab terhadap “hilangnya” tanah-tanah itu, menjadi
tanggung jawab “oknum pelaku”. Penyelesaiannya tidak bisa dengan ganti rugi,
melainkan berupa pemidanaan. Tentu kita semua mengikuti dengan cermat, kasus
tanah di Kabupaten Karawang-Jawa Barat, yang saat ini sedang
berlangsung.
Maka “ancaman” Kesultanan Kasepuhan Cirebon untuk segera membawa masalah ini ke
Komisi Penyidik Korupsi (KPK) di Jakarta, Kejaksaan Negeri (Agung) maupun Mabes
Polri jika Pemkot tidak juga mencari jalan penyelesaian, janganlah
dianggap sebagai sekedar ancaman kosong belaka. Karena jika itu mereka lakukan,
mereka (Keraton Kesultanan
Kasepuhan) tidak mengenal kata mundur, seperti selama ini telah mereka
buktikan, berjuang mempertahankan haknya tanpa lelah selama lebih dari 40
tahun. Jarum jam tidak bisa diputar mundur, kesempatan tidak pernah datang dua
kali.
Usul dalam “Sorotan” harian ini untuk menyelesaikan konflik pertanahan
itu melalui jalur hukum, adalah merupakan usul baik yang patut diterima dan
dipertimbangkan oleh Keraton Kesultanan Kasepuhan, tetapi apakah upaya melalui
jalur hukum akan membawa hasil? dapatkah penyelesaian melalui jalur hukum itu
menyelesaikan konflik pertanahan ini?.
Paling tidak ada 2 buah keputusan MA yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan menurut system hukum Indonesia, hal itu merupakan Yurisprudensi. Kedua-duanya
menyatakan bahwa tanah-tanah itu adalah merupakan wewengkonnya Keraton
Kasepuhan Cirebon. Tetapi semuanya tidak membuat keadaan menjadi berubah,
artinya keputusan itu hanya merupakan kemenangan diatas kertas belaka bagi
Keraton Kesultanan Kasepuhan. Karena hak-hak Keraton Kesultanan Kasepuhan atas
tanah itu tetap tidak diakui oleh Pemerintah.
Maka sekali lagi saya mengusulkan agar untuk menyelesaian konflik ini, harus
dilakukan dengan duduk bersama (seperti diusulkan dalam “Sorotan” ), untuk
kemudian membentuk Team Peneliti yang Independen dan terdiri dari unsur
Pemerintah, Kesultanan kasepuhan Cirebon, Akademisi, serta masyarakat yang
dapat diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Tetapi semua itu hanya bisa terwujud jika ada keinginan dan itikad baik, yang
dalam hal ini adalah dari Pemerintah Kota Cirebon sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas keberadaan tanah-tanah tersebut. Pengambil-alihan
tanah-tanah Keraton itu sesungguhnya merupakan keputusan politik yang diselemuti
baju hukum tetapi tidak dilandasi alas hukum yang kuat, maka penyelesaiannyapun
harus pula dengan kemauan dan keputusan politik.
Komentar
Posting Komentar