Hukum adat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis,
majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji
perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup ,
apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
Ada banyak istilah yang dipakai
untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum
rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“1. Bagaimana tempat dan bagaimana
perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma
hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim,
pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung
kepada dan berada dalam masyarakat.
Bagi penganut Paham Etatis, yang
mengklaim negara sebagai satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi
hukum, maka di luar negara tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berujud
sentralisme hukum, dipengaruhi positivisme hukum dan teori hukum murni, maka
secara struktural dan sistimatik ujud hukum adalah bersumber dan produksi dari
negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya. Paham sentralisme
hukum ini menempatkan posisi hukum adat tidak memperoleh tempat yang memadahi. Etatis hukum timbul yang
didasarkan pada teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara
zaman modern dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem hukum
nasional, sejak timbulnya senara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh
teritorialnya. Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni
liberal- karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut
sentralisme hukum (legal centralism), dimaknai hukum sebagai hukum
negara yang berlaku seragam untuk semua pribadi yang berada di wilayah
jurisdiksi negara tersebut. Menurut Max Weber
dikutip David Trubrek dan Satipto Rahardjo, pertumbuhan sistem hukum modern
tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi yang kapitalis.yang
memberikan rasionalitas dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi. Hukum
modern yang dipakai di mana-mana di dunia sekarang ini pada intinya mengabdi
dan melayani masyarakat industri- kapitalis2
Kaedah hukum negara berada di
atas kaedah hukum lain, dan karenanya harus tunduk kepada negara beserta
lembaga hukum negara. Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan hukum
adalah sebagai kaedah normatif yang bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis,
berlaku seragam, serta dapat berlaku; pertama, dari atas ke bawah (top
downwards) di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa (Bodin: 1576; Hobbes: 1651; Austin: 1832) atau, kedua dari bawah ke atas (bottom
upwards) di mana hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah
normatif yang hirarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat ke
lapisan-lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang
dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen: 1949; Hart: 1961). Sistem hukum yang dipengaruhi idiologi ini,
seluruh lapisan kaedah normatif ini baru dianggap sah keberlakuannya sebagai
suatu aturan hukum jika sesuai dengan lapisan (norma,
kaedah ) yang di atasnya. Khusus kaedah utama yang berada di puncak lapisan –
disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar
yang sudah ada dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara
dalam mengukur kaedah yang berada di bawahnya. Maka
hukum dan penalaran hukum yang berlangsung adalah sebagaimana William Twining
menyebutnya sebagai proses a finite closed scheme of permissible
justification. Apa yang merupakan hukum ditentukan oleh legislatif dalam
bentuk rumusan yang abstrak untuk kemudian melalui proses stufenweise
konkretisierung (kongkritisasi secara bertingkat dari atas- ke bawah, Hans
Kelsen), akhirnya hukum yang semula abstrak menjadi kongkrit.3.
Sentralisme hukum yang juga
disebut hukum modern, dicirikan oleh
beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak kurang dari 11 karakteristik
hukum modern itu. Beberapa di antaranya adalah: (1)
hukum itu lebih bersifat
teritorial daripada personal, dalam arti penerapannya tidak terikat pada kasta,
agama atau ras tertentu; (2) sistemnya diorganisir secara
hirarkhis dan birokratis; (3) sistem juga rasional yang
artinya, tehnik-tehniknya dapat dipelajari dengan menggunakan logika dan
bahan-bahan hukum yang tersedia dan (4)
disamping itu hukum dinilai dari
sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari
kwalitas formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah dan
bukan merupakan sesuatu yang keramat – kaku; ekssistensi hukum dikaitkan
pada (kedaulatam) negara4.
Sedangkan Lawrence M. Friedman,
yang membagi unsur sistem hukum dalam tiga macam: (1) Struktur, (2) substansi dan (3) kultur, maka hukum modern lebih
tepat menggunakan tolok ukur kultur hukum, maka hukum lebih dilihat dari sudut
kegunaan (utilitarian), sehingga ia mencirikan hukum modern sebagai: (1)
sekuler dan pragmatis; (2) berorientasi pada kepentingan dan merupakan suatu
usaha yang dikelola secara sadar oleh manusia (enterprise); (3) bersifat
terbuka dan mengandung unsur perubahan yang dilakukan secara sengaja.
Sehingga Lawrence M. Friedman
lebih dekat dengan pendapat David M. Trubek, yang memerinci konsepsi hukum
modern sebagai: (1) sistem peraturan-peraturan; (2) berupa karya manusia dan
(3) bersifat otonom, artinya merupakan bagian dari negara tetapi sekaligus juga
terlepas daripadanya5.
Pada posisi (sebagai hukum modern- pen) ini hukum memperoleh penyempitan
makna, karena hukum semakin menjadi sesuatu yang otonom, lepas
dari realitas dan nilai yang seharusnya sebagai substansi dan pendukungnya. Hal
ini berakibat pada suatu keadaan hukum telah cacat sejak lahirnya, ini sebagai
tragedi hukum.
Idiologi sentralisme hukum inilah
sebagai ibu kandung positivisme hukum yang sering disebut hukum
modern, pada paham yang paling ekstrim adalah hukum harus dibebaskan –
dimurnikan - dari nilai-nilai non hukum (etika, moral, agama), sehingga hukum
sebagai bebas nilai (value free), yang dipositipkan dalam bentuk
peraturan dan yang bersumberkan dari negara dalam bentuk tertulis. Hukum jenis
ini dewasa ini sangat dominan dan sebagai penopang negara penganut
modern-liberal, bahkan negara ultra-modern-neoliberal, dengan
didukung oleh para pengembannya (pendidikan hukum, profesional
dengan standarnisasi yang ketat)
Sebaliknya yang berlawanan dengan
paham sentralisme hukum adalah paham pluralisme hukum. Paham pluralisme hukum
menempatkan sistem hukum yang satu berada sama dengan sistem hukum lain. Menurut Satjipto Rahardjo sejak saat timbulnya hukum
modern yang sentral dari negara, maka mulai tergusurnya jenis hukum lain
seperti hukum adfat dan kebiasaan lainnya. Kalaupun toh jenis-jenis hukum itu
masih berlaku di sana sini, maka itus emua terjadi karena “ kebaikan hati”
hukum negara ( by the grace of state law)6. Ada beberapa tipe pluralisme
hukum. Tipe pertama disebut: Pluralisme Relatif (Vanderlinden
1989), Pluralisme Lemah (J.Griffith 1986) atau Puralisme hukum hukum
negara (Woodman 1995:9) menunjuk pada kontruksi hukum yang di dalamnya
aturan hukum yang dominan memberi ruang, implisit atau eksplisit, bagi jenis
hukum lain, misalnya hukum adat atau hukum agama. Hukum negara mengesahkan dan
mengakui adanya hukum lain dan memasukkannya dalam sistem hukum negara. Tipe
kedua, yang disebut : Pluralisme Kuat atau Deskriptif
(Griffiths, atau Pluralisme Dalam (Woodman) pluralisme hukum menunjuk
situasi yang di dalamnya dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan, dengan
masing-masing dasar legitimasi dan keabsahannya7. Esmi Warasih dalam
pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa;“Penerapan suatu sistem hukum
yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan
masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari
negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu
sendiri8
Paradigma pemahaman hukum adat
dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji
secara luas:
1.
Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara
berupa hukum negara, namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan;
2.
Pemahaman hukum (adat) tidak hanya memahami hukum adat yang dalam berada dalam komunitas tradisional-
masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu (hybrid law atau
unnamed law);
3.
Memahami gejala trans nasional law sebagaimana
hukum yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan
interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal.
Dengan pemahaman holistik dan
intregratif maka perkembangan dan kedudukan hukum adat akan dapat dipahami
dengan memadahi.
Maka studi hukum adat dalam
perkembangan mengkaji hukum adat sepanjang perkembanganya di dalam masyarakat,
dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya hukum adat akan dikaji
secara positif dan secara negative. Secara positif artinya hukum adat dilihat sebagai
hukum yang bersumber dari alam pikiran dan cita-cita masyarakatnya. Secara
negatif hukum adat dilihat dari luar, dari hubungannya dengan hukum lain baik
yang menguatkan maupun yang melemahkan dan interaksi perkembangan politik
kenegaraan. Perkembangan hukum secara positif artinya hukum adat akan dilihat
pengakuannya dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam
yurisprudensi maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya
perkembangan secara negative bagaimana hukum adat dikesampingkan dan tergeser
atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya hukum positif yang direpresentasikan
oleh Negara baik dalam perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan.
Sebagaimana dinyatakan: hukum adat sebenarnya berpautan dengan suatu masyarakat
yang masih hidup dalam taraf subsistem, hingga kecocokannya untuk kehidupan
kota modern mulai dipertanyakan.
Hukum adat dalam perkembangannya dewasa ini
dipengaruhi oleh: Politik hukum yang dianut oleh Negara dan metode pendekatan
yang digunakan untuk menemukan hukum adat.
Hukum adat dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu
system. Sistem sesuai dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo,
berpendapat: bahwa tiap hukum merupakan suatu system, yaitu peraturan-peraturannya
merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran9Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono,16 merekomendasikan
beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia
dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
1.
Hukum Nasional harus
merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dengan pengertian
bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima
sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa
sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang;
2.
Hukum nasional
Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian
antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah
ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang
baru pula;
3.
Pembentukan peraturan
hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum
yang baru itu secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan
masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga
sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran
serta makmur dalam keadilan.10
1.2
Rumusan masalah
- Bagaimana perkembangan hukum adat menurut paradigma
teori?
- Bagaimana perkembangan hukum adat dalam hukum
positiv Indonesia?
- Bagaimana perkembangan hukum adat dalam
yurisprudensi Indonesia?
- Bagaimana implementasi hukum adat di bali?
1.3
Tujuan
Masyarakat Indonesia memiliki
kedinamikaan suku adat, yang pada prinsipnya hanya ada satu tujuan yakni
membangun dan mempertahankan negara Republik Indonesia. Kedinamikaan suku
merupakan kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian ini adalah hukum adat yang
ditransformkan menjadi hukum nasioanal dan dicantumkan dalam UUD 1945.
Mempelajari hukum adat maka kita
akan mudah memahami hukum Indonesia, karena hukum adat dibentuk menurut
kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki sanksi dan diselaraskan dengan
hukum nasional.
Hukum di Indonesia salah satunya
bersumber dari costum, dimana sumber tersebut mengikuti perkembangan zaman dan
harus disesuaikan dengan azas – azas hukum yang berlaku dan tidak boleh
bertentangan dengan ideologi bangsa. Suatu peraturan yang telah diundangkan
harus disepakati dan dipatuhi bersama dengan tidak ada pengecualian.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Hukum Adat.
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang
terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal
ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures
through the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal
ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan
eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil
bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan
kebijakan.11 Catatan penting yang dapat
diberikan berkenaan dengan Law and Development tersebut ialah:
..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu
perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya ‘the rule of
law’ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan
politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang
utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang
unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan
negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya
sendiri mengenai isi dari ‘the rule of law’ (Tamanaha 1998).12
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali
dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian
di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles.
Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama
kali menggunakan istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai peletak
teori Receptie13, ia memandang hukum adat identik
dengan hukum kebiasaan14. Istilah Hukum Adat atau adatrecht
pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan
istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi
hukum15.
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan
positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus
memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid),
(2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat),
berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19
lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut
Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum
atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts),
lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar; ia dengan mendasarkan
analisisnya pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman Grey
menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia
mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).
Mengkaji hukum adat dari berbagai sudut pandang, namun
tetap menunjukkan apa yang disebut hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum
adat dalam perkembangannya, dan hukum adat akan mampu menyesuaian dengan
kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan terus berubah. Oleh karena
itu pemahaman pengertian, pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk
dapat melihat, memahami dan mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat
dalam perkembangannya.
Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan
paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak,
sifat, karakter hukum adat.
Kluckhon mengemukakan: nilai merupakan “a
conception of desirable” (suatu konsepsi yang diinginkan). Maka nilai ada
beberapa tingkatan, yaitu:
1.
Nilai Primer merupakan nilai pegangan hidup bagi suatu
masyarakat, bersifat abstrak dan tetap seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran
budi, kebersamaan dan lain sebagainya.
2.
Nilai subsider berkenaan dengan kegunaan, karena itu lebih
berbicara hal-hal yang bersifat kongkrit. Maka hukum lebih banyak ditujukan
pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yang berguna untuk memecahkan
persoalan kongkrit yang sedang dihadapi masyarakat, atau orang-perorang.
Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah melalui penyaringan (sannering)
oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan dan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Hukum - termasuk hukum adat -
sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer, namun
pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata
dilihat dan dipahami.
Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan
aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak
berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan16. Beberapa definisi hukum adat yang
dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1.
Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum
adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang
perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang
mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada
dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)17. Abdulrahman
, SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk
mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk
Hukum Adat pada masa kini18.
2.
Prof. Soepomo,
merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang
hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi
dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa19.
3.
Prof. Soekanto, merumuskan
hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum),
jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat
4.
Prof. Soeripto: Hukum
adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang
bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak
tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota
masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa
aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas
masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi)
5.
Hardjito Notopuro:
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang
merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan
kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan
6.
Suroyo Wignjodipuro:
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
7.
Seminar Hukum Adat
dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli
yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
disana sini mengandung unsur agama.24
8.
Sudjito Sastrodiharjo
menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen,
tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat merupakan species dari
hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya
Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat
dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas
(penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu
sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah
diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di
ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun
akan sia-sia belaka26. Dengan kata lain memahami hukum
adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas – yang memutuskan
– dan bawah yang menggunakan - agar dapat diketahui dan dipahami
perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam
berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut
Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional.
Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi
peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan
yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.
2.2 Azas azas Hukum Adat
Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran
masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya,
yaitu:
1.
Azas Gotong royong;
2.
Azas fungsi sosial hak miliknya;
3.
Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4.
Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem
pemerintahan
2.3 Sifat Corak Hukum Adat.
Hukum adat berbeda dengan hukum
bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme
–realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat
fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan
social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
1.
Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih
penting daripada individu);
2.
Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila
dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.
3.
Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila
dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat
mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis
1.
Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,
2.
Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti
perkembangan masyarakat, yang
3.
Plastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai
kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan28: Dengan perspektif perbandingan,
maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat
agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan
Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat
bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang
masih bersifat pra industri di luar Indonesia.
Corak
Hukum Adat
Soepomo29 mengatakan: Corak atau pola –
pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur
kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur
hukum adat adalah:
1.
Mempunyai sifat
kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan
makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana
meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2.
Mempunyai corak
magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3.
Sistem hukum itu
diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang
kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi
dalam pengatur pergaulan hidup.
4.
Hukum adat mempunyai sifat
visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena
ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
1.
Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata
adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat
untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai
kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2.
Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok
perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam
wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;
Thanks for this post its really interesting i bookmark your blog for future stuff like this..
BalasHapus1986 Buick Riviera AC Compressor
Thanks before, for your attention sheena
BalasHapus