MEKANISME DAN PENINGKATAN KUALITAS PERENCANAAN DESA MENUJU PEMBANGUNAN DESA YANG PARTISIPATIF DAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH
ABSTRAK
Perencanaan pembangunan desa
yang partisipatif dan berkelanjutan memiliki peran yang strategis dalam
kerangka otonomi daerah, karena pembangunan desa merupakan dasar dari
pembangunan nasional, dan partisipasi masyarakat merupakan modal utama
keberhasilan pembangunan. Tulisan ini akan melakukan tinjauan terhadap model
perencanaan pembangunan desa pada masa lalu dan masa sekarang ini terutama
dikaitkan dengan partisipasi masyarakat. Dari tinjauan tersebut, penulis
mencoba memberikan alternatif pengembangan perencanaan pembangunan desa yang
partisipatif dan berkelanjutan dalam mendukung otonomi daerah. Pelaksanaan pembangunan
daerah yang selama ini dilaksanakan melalui proses P5D, secarakonseptual telah
mencoba melibatkan masyarakat semaksimal mungkin tetapi dalam kenyataannya
menghadapi berbagai kendala sehingga diperlukan revisi mekanisme P5D. Pola
perencanaan pembangunan tetap mengikuti alur perencanaan yang sudah ada dengan
mengadopsi konsep keterpaduan P5D, namun dengan memberikan penekanan pada :
pelibatan partisipasi aktif semua peserta forum musyawarah perencanaan,
meningkatkan bobot keterwakilan masyarakat dalam forum perencanaan,
meningkatkan pengakomodasian usulan dari bawah dalam program Dinas sektoral.
Agar dapat terakomodir, maka usulan dari bawah harus memiliki ketajaman
prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itu diperlukan revitalisasi
dan penguatan lembaga perencanaan desa, dan memberikan bantuan pendampingan
dalam proses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan, serta perlu
dilakukan desiminasi dokumen-dokumen perencanaan sampai kepada masyarakat desa
untuk memberi arah dalam penyusunan perencanaan masyarakat.
PENDAHULUAN
Kegagalan berbagai program
pembangunan perdesaan di masa lalu adalah disebabkan antaralain karena penyusunan, pelaksanaan dan
evaluasi programprogram pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses
pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralistis dan dominannya
peranan negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat. Kelahiran Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 yang lebih dikenal
dengan UU Otonomi Daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan persyaratan yang
diamanatkan dalam undang-undang tersebut, yakni diselenggarakan dengan
memperhatikan prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan,
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman daerah.
Otonomi daerah membawa
konsekuensi terhadap penguatan peran masyarakat, dan penguatan semangat tata
pemerintahan yang baik (Good governance). Penguatan peran
masyarakat, bukanlah sekedar memberikan kesempatan bagi “peranserta
masyarakat” , akan tetapi adalah bagaimana menempatkan masyarakat secara
bertahap terlibat pada proses pengambilan keputusan dalam pembangunan.
Sedangkan penguatan semangat good
governance menuntut semua pelaku pembangunan untukmengedepankan
transparansi, akuntabilitas, meningkatkan profesionalisme, kepedulian terhadap
rakyat, dan komitmen moral yang tinggi dalam segala proses pembangunan.
Pentingnya partisipasi
masyarakat dalam semua tahapan proses pembangunan sesungguhnya telah disadari Pemerintah jauh sebelum
dilaksanakan-nya otonomidaerah. Pola perencanaan pembangunan melalui mekanisme
Proses Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan (P5D), telah
mencoba melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, melalui
proses perencanaan berjenjang mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat
nasional. Akan tetapi berbagai literatur dan hasil penelitian (Siregar, 2001;
Team Work Lapera, 2001; P3P Unram, 2001; Hadi, Hayati dan Hilyana, 2003)
melaporkan bahwa keterlibatan masyarakat hanya dalam tataran wacana dan dalam
implementasi hanya menjadi sekedar pelengkap proses pembangunan.
Akibat dari mekanisme
perencanaan pembangunan yang tidak aspiratif dan kurang partisipatif, membuat
hasil perencanaan dan proses pembangunan, terutama di tingkat desa, menjadi
tidak berkelanjutan. Sebagian besar kegiatan pembangunan merupakan program dari
atas (Top down), sangat berorientasi proyek, dan menonjolkan ego
sektoral. Padahal pembangunan desa merupakan dasar dari pembangunan nasional,
dan partisipasi masyarakat merupakan modal utama keberhasilan pembangunan.
Tulisan ini akan melakukan
tinjauan terhadap model perencanaan pembangunan desa pada masa lalu dan masa
sekarang ini terutama dikaitkan dengan partisipasi masyarakat. Dari tinjauan
tersebut, penulis mencoba memberikan alternatif pengembangan perencanaan
pembangunan desa yang partisipatif dan berkelanjutan dalam mendukung otonomi
daerah.
TINJAUAN KONSEP DAN
IMPLEMENTASI PROSES PERENCANAAN,
PELAKSANAAN DAN
PENGENDALIAN PEMBANGUNAN (P5D)
Konsep dan Proses
Berdasarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 9 tahun 1982, pelaksanaan pembangunan
daerah dilaksanakan melalui suatu proses yang relatif baku yaitu Proses
Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan (P5D). Proses P5D dimulai
dari tingkat bawah (masyarakat) dalam bentuk Musyawarah Pembangunan Desa
(Musbangdes), yang kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Unit Daerah Kerja
Pembangunan (UDKP) di tingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang)
Kabupaten, Rakorbang Propinsi, dan berakhir dengan Rakorbang Nasional.
Praktek Pelaksanaan P5D
Mekanisme P5D, secara
konsepsual telah mencoba melibatkan masyarakat semaksimal mungkin, dan mencoba
memadukan perencanaan dari masyarakat (Bottom up planing) dengan
perencanaan Dinas/Instansi sektoral (Top down planning). Akan tetapi,
dari berbagai literatur dan hasil penelitian (P3P Unram, 2001; Siregar, 2001,
Team Work Lapera, 2001; Hadi, Hilyana dan Hayati, 2003) diperoleh gambaran
bahwa implementasi perencanaan pembangunan selama ini belum partisipatif
seperti konsep dan kebijakan yang dikembangkan Pemerintah. Perencanaan dari
atas lebih mendominasi hasil perencanaan. Hasil penelitian Hadi, Hilyana dan
Hayati (2003) di tiga desa di Pulau Lombok, menemukan bahwa partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan Musbangdes dan forum-forum perencanaan pembangunan
di tingkat desa, hanya 10 % yang terlibat aktif, 50 % kadang-kadang terlibat,
sedangkan 40 % tidak pernah dilibatkan. Namun dalam pelaksanaan program-program
pembangunan, sebagian besar anggota masyarakat terlibat aktif, baik sebagai
pelaksana maupun penerima manfaat. Sedangkan dalam pengawasan hasil-hasil
pembangunan desa, keterlibatan masyarakat sangat kecil. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan
sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak.
Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan yang harus memenuhi keinginan
Pemerintah, belum menjadi subyek pembangunan, atau masyarakat belumditempatkan pada posisi inisiator
(sumber bertindak). Mekanisme perencanaan P5D cenderung menjadi ritual, menjadi
semacam rutinitas formal, tidak menyentuh substansi dan kehilangan makna
hakikinya.
Pelaksanaan Musbangdes
terkesan hanya seremonial, sehingga masyarakat merasakan kejenuhan mengikuti
Musbangdes. Hasil penelitian P3P Unram (2001) menemukan bahwa usulan masyarakat
dalam Musbangdes hanya sebagian kecil yang terakomodir dalam forum perencanaan
supra desa. Keterwakilan masyarakat dalam forum-forum perencanaan yang ada
sangat kurang. Hal ini karena peserta musyawarah dalam forum perencanaan yang
dilaksanakan lebih didasarkan pada keterwakilan yang bersifat formal, sehingga
susunan pesertanya didominasi para birokrat dan unsur lembaga formal.
Dari sisi perencanaan jangka
menengah dan jangka panjang, Pemerintah Kabupaten/Kota telah memiliki berbagai
dokumen perencanaan (seperti Program Pembangunan Lima Tahun Daerah/Propeda,
Rencana Strategis/Renstra, dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah/RUTRW) dan seharusnya
menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Akan tetapi dokumen-dokumen perencanaan tersebut tidak tersosialisasikan,
sehingga hal ini mengakibatkan perencanaan dilaksanakan tanpa perspektif yang
jelas. Seringkali terjadi Repetada sebagai pedoman mengenai arah dan
kebijaksanaan penyusunan program dan proyek disusun setelah RAPBD disyahkan
sehingga kehilangan fungsi substansifnya. Sementara itu, menurut Asmara (2001)
komitmen dan orientasi pelanggan (public driven) dalam sistem programming
sektoral, belum mantap. Hal ini karena budaya birokrasi berdasarkan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik seperti akuntabilitas, responsibilitas
dan transparansi dalam penyelenggaraan kepentingan publik belum melembaga
dengan baik. Akibatnya jaminan pengakomodasian usulan dari bawah sangat kurang.
MENUJU PEMBANGUNAN YANG
PARTISIPATIF DAN BERKELANJUTAN : ALTERNATIF REVISI MEKANISME P5D
Wacana pembangunan yang
partisipatif di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak 30 tahun lalu,
dimana konsep pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah
dimasukkan dalam GBHN pada dekade 1970-an. Sementara kebijakan yang lebih
konkret dimulai pada dekade 1980-an.
Sejak dekade 1990-an,kegiatan pembangunan daerah dirancang lebih partisipatif
melalui lembaga pengambilan keputusan tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi hingga nasional (Siregar, 2001; Chandra et al, 2003). Akan tetapi,
menurut Team Work Lapera (2001) pada saat itu partisipasi masyarakat lebih
sebagai jargon pembangunan, dimana partisipasi lebih diartikan pada bagimana
upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada awal dan konsep
pelaksanaanya berasal dari pemerintah.Berbagai keputusan umumnya sudah diambil
dari atas, dan sampai ke masyarakat
dalam bentuk sosialisasi
yang tidak bisa ditolak. Sejalan dengan dikedepankannya prinsip tata
pemerintahan yang baik terutama di tingkat Kabupaten/Kota, maka konsep
perencanaan pembangunan partisipatif mulai digagas dan dikembangkan di berbagai
daerah di Indonesia. Kebijakan perencanaan pembangunan partisipatif pada era
otonomi daerah adalah dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29
Tahun 2002, yang mengatur tentang perlunya melakukan penjaringan aspirasi
masyarakat untuk memberi kesempatan kepada masyarakat berpartisipasi dan
terlibat dalam proses penganggaran daerah dalam penyusunan konsep arah dan
kebijakan umum APBD. Kemudian dalam rangka mengefektifkan dan mengoptimalkan
proses perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah sebagai bagian dari perencanaan
pembangunan nasional, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Nomor
050/987/SJ Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Koordinasi Pembangunan
Partisipatif. Kebijakan pembangunan partisipatif yang berpusat pada masyarakat
tersebut didukung berbagai bantuan teknis dan pendanaan dari berbagai lembaga
pemerintah dan non pemerintah, seperti Badan Program Pembangunan PBB (UNDP),
badan kerjasama pembangunan Jerman (GTZ) dan berbagai LSM nasional dan
internasional, membuat program-program peningkatan partisipasi masyarakat
menjadi keharusan bagi pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kota Mataram
dengan difasilitasi proyek BUILD dari UNDP mengembangkan mekanisme perencanaan
partisipatifyang melahirkan mekanisme Musyawarah Pembangunan Bermitra Masyarakat
(MPBM) mulai dari tingkat Kelurahan sampai dengan tingkat Kota. Pemerintah
Kabupaten Lombok Tengah bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perdesaan (P3P) Universitas Mataram melaksanakan Studi Eksploratif Pengembangan
Perencanaan Pembangunan yang Aspiratif di Kabupaten Lombok Tengah. Sementara
Pemerintah Kabupaten Bima dengan difasilitasi GTZ menghasilkan draft Peraturan
Daerah tentang Perencanaan Partisipatif.
Konsep perencanaan
pembangunan dengan mekanisme P5D masih relevan untuk dipertahankan dengan
memberikan penekanan pada peningkatan partisipasi masyarakat dan mengembangkan
nuansa demokrasi dalam proses perencanaan pembangunan. Mekanisme P5D juga masih
menjadi acuan dasar dalam MPBM di Kota Mataram dan konsep Musyawarah Pembangunan
Partisipatif (MPP) di Kabupaten Lombok Tengah. Pada Tabel 2 digambarkan
kekuatan mekanisme P5D, kelemahan dalam implementasinya, dan solusi untuk
mengatasi kelemahan tersebut.
Berangkat dari kelemahan
implementasi pola perencanaan P5D, seperti dikemukakan di atas, revitalisasi
pola perencaan pembangunan yang aspiratif dan partisipatif dimulai dari
penyiapan dan penguatan institusi perencanaan mulai dari tingkat desa. Pola
perencanaan pembangunan desa
partisipatif menekankan pelibatanpartisipasi aktif semua peserta forum
musyawarah perencanaan dan meningkatkan bobot keterwakilan masyarakat dalam
forum perencanaan. Berbeda dengan pola P5D, agar perencanaan pembangunan desa
benar-benar datang dari bawah, maka perencanaan dimulai dari Musyawarah
Pembangunan Dusun (Musbangdus), sebelum pelaksanaan Musbangdes. Penekanan pada
Musbangdus adalah rencana-rencanaproyek swadaya tingkat Dusun dan antar Dusun
di tingkat Desa. Revisi dalam pola perencanaan partisipatif adalah bagaimana
meningkatkan pengakomodasian usulan dari bawah dalam program Dinas sektoral.
Agar dapat terakomodir, maka usulan dari bawah harus memiliki ketajaman
prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Agar hasil dari forum perencanaan
di tingkat Desa dan Kecamatan memiliki kesesuaian dengan arah pembangunan
Kabupaten/Kota seperti tertuang dalam berbagai dokumen perencanaan, maka harus
dilakukan desiminasi dokumen Rencana Pembangunan Daerah (Poldas, Renstra,
Repetada) sampai kepada masyarakat sebagai arahan dalam penyusunan perencanaan.
Upaya mempertemukan
perencanaan dari masyarakat (Bottom-up planning) dengan perencanaan
Dinas/Instansi sektoral (Top-down planning) yang selama ini lebih
dominan dilakukan pada Musyawarah Pembangunan Kabupaten (atau Rakorbang
Kabupaten). Mekanisme yang dikembangkan adalah : (1) Seluruh peserta
mendengarkan presentasi usulan dari masyarakat, (2) Masyarakat mendengarkan dan
mengkritisi program tiap Dinas yang dipresentasikan (tujuan dan manfaatnya),
(3) Merumuskan tindakan untuk penanganan tiap usulan masyarakat : usulan yang
dapat ditangani sendiri oleh masyarakat, usulan yang membutuhkan bantuan dari
Pemerintah, dan usulan yang akan ditangani oleh Pemerintah. Setelah
memperhatikan usulan masyarakat dan hasil dari Rakorbang, barulah
Dinas/Instansi sektoral dapat menyusun Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP),
tidak lagi mengikuti pola lama dimana Dinas/Instansi sektoral “memaksakan”
program-programnya kepada masyarakat dalam forum Rakorbang.
Keterlibatan semua komponen
dalam pola perencanaan partisipatif merupakan suatu keharusan sehingga proses perencanaan sejak
awal melibatkan pihak legislatif(DPRD). Hubungan pihak legislatif dengan
konstituennya (masyarakat) sudah selayaknya mempunyai komunikasi yang intensif,
sehingga dengan demikian issue yang ada di masyarakat sepenuhnya dapat
diakomodasikan. Sedangkan hubungan fungsional antara pihak legislatif dengan
eksekutif sesuai dengan jiwa UU No. 22/99, seyogyanya menjadi pola kemitraan
yang efektif. Perlu dilakukan penyamaan persepsi diantara pihak eksekutif dan
legislatif dalam pembagian peran dan tanggung jawab secara jelas. Dengan
demikian, hasil dari suatu proses perencanaan yang partisipatif lebih dapat
diakomodir pihak legislatif dalam pembahasan RAPBD di tingkat legislatif.
UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DI TINGKAT DESA
Paradigma lama pembangunan
perdesaan pada masa sebelum era otonomi adalah bagaimana melaksanakan
program-program pemerintah yang datang dari atas.
Program pembangunan desa
lebih banyak dalam bentuk proyek dari atas, dan sangat kurang memperhatikan
aspek keberlanjutan pembangunan desa dan partisipas masyarakat. Sebagian besar
kebijakan Pemerintah bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat
tinggi, akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan desa,
dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Kurang
terakomodirnya perencanaan dari bawah dan masih dominannya perencanaan dari
atas, menurut Asmara, H., (2001) adalah karena kualitas dan hasil perencanaan
dari bawah lemah, yang disebabkan beberapa faktor antara lain : (1) Lemahnya
kapasitas lembaga-lembaga yang secara fungsional menangani perencanaan; (2)
Kelemahan identifikasi masalah pembangunan; (3) Dukungan data dan informasi
perencanaan yang lemah; (4) Kualitas sumberdaya manusia khususnya di desa yang
lemah; (5) Lemahnya dukungan
pendampingan dalam kegiatanperencanaan, dan (6) Lemahnya dukungan pendanaan
dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan khususnya di tingkat desa dan kecamatan.
Sosialisasi
ke
Masyarakat
Untuk mengatasi lemahnya
kualitas dan hasil perencanaan dari bawah, Pemerintah pada pertengahan tahun
1990-an memperkenalkan metode Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat
Desa (P3MD) dengan memberikan pelatihan dan buku panduan kepada LKMD, dan
mengangkat pemandu untuk memfasilitasi proses Musbangdes. Metode P3MD ini
nampaknya dimaksudkan untuk memberdayakan LKMD sebagai refresentasi lembaga
perencanaan pembangunan di tingkat desa. (Ditjen PMD, 1996; Siregar, 2001).
Revitalisasi dan
Penguatan Lembaga Perencanaan Desa
Penguatan kelembagaan
perencanaan di tingkat desa dimulai dengan merevitalisasi LKMD sebagai lembaga
yang dibentuk atas prakarsa masyarakatsebagai
mitra Pemerintah Desa dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat di bidang pembangunan. Sejauh mana peran dan fungsi yang dimainkan
LKMD dalam proses perencanaan pembangunan selama ini, hasil penelitian
Qomaruddin (2002) di Surakarta, memperlihatkan adanya tingkat penolakan masyarakat
yang tinggi terhadap peran dan fungsi LKMD, karena hasil perencanaan selama ini
dinilai tidak menyentuh kebutuhan/aspirasi masyarakat paling bawah. Proses
perencanaan hanya melibatkan elit lokal, kurang representatif untuk mewakili
kelompok kepentingan yang ada di masyarakat (distorsi keterwakilan). Selain
itu, forum musyawarah tidak menyentuh substansi masalah yang dihadapi
masyarakat. Senada dengan Qomaruddin,Team Work Lapera (2001) mengemukakan bahwa
marjinalisasi kelembagaan masyarakat pada era Orde Baru menunjukkan karakter
sentralisastik. Kepala Desa menjadi “penguasa tunggal”, karena meskipun terdapat
unsur lain di luar pemerintahan desa, seperti LKMD dan Lembaga Musyawarah Desa
(LMD), keberadaan lembaga tersebut sangat tergantung pada figur Kepala Desa.
Karena jabatannya, Kepala Desa secara ex-officio menjadi Ketua LMD, dan
Sekretaris Desa karena jabatannya menjadi Sekretaris LMD. Kepala Desa secaraex-officio
juga menjabat Ketua Umum LKMD, dan Ketua II LKMD dijabat olehKetua Tim
Penggerak PKK yang notabene adalah istri Kepala Desa.
Konsep tentang LKMD
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980 tentang
Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa tidak sesuai lagi dengan semangat Otonomi Daerah,
oleh karena itu perlu ditata kembali sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam
mendukung upaya revitalisasi LKMD, pemerintah telah menetapkan Keputusan
Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
Atau Sebutan Lain. Dalam Keppres No. 49/2001 tersebut dinyatakan bahwa LKMD
atau sebutan lain mempunyai tugas : (1) menyusun rencana pembangunan yang
partisipatif; (2) menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat; dan (3)
melaksanakan dan mengendalikan pembangunan. Sedangkan dalam melaksanakan
tugasnya, LKMD atau sebutan lain mempunyai fungsi : (1) menanam dan memupuk
rasa persatuan dan kesatuan masyarakat desa; (2) mengkoordinir perencanaan
pembangunan; (3) mengkoordinir perencanaan lembaga kemasyarakatan; (4)
merencanakan kegiatan pembangunan secara partisipatif dan terpadu; dan (5)
menggali dan memanfaatkan sumber daya kelembagaan untuk pembangunan desa.
Pendampingan dalam
Proses Perencanaan
Dari hasil on the job
training yang dilakukan P3P Unram (2001) ditemukan bahwa karena dominannya
perencanaan dari atas, masyarakat desa mengalami kegamangan saat melakukan
perencanaan partisipatif dari bawah. Masyarakat mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi potensi yang ada di Desa/ Kelurahan, serta mengidentifikasi
permasalahan dan kebutuhan pembangunan. Untuk itu sangat dibutuhkan bantuan
pendampingan dalam proses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan.
Dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat, diperlukan
fasilitator, penggerak atau agen pembangunan (development agent), yang
berperan sebagai : (1) Katalisator yang menggerakkan masyarakat agar mau
melakukan perubahan, (2) Membantu pemecahan masalah, (3) Membantu penyebaran
inovasi, serta memberi petunjuk bagaimana mengenali dan merumuskan kebutuhan,
mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan sumber-sumber yang
relevan, memilih dan mengevaluasi, dan (4) Menghubungkan dengan sumber-sumber
yang diperlukan.
Prinsip yang harus
dikembangkan fasilitator di tingkat desa adalah membudayakan warga desa
memikirkan desanya dan atau pembangunan desanya. Fasilitasi yang dapat
dilakukan adalah dengan membantu masyarakat dalam : (a) Perumusan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat sendiri sebagai input dalam proses perencanaan
pembangunan desa, dan (b) Pengenalan potensi yang dimiliki masyarakat. Berbagai
metode partisipatif dapat digunakan, seperti metode Participatory Rural
Appraisal (PRA), Ziel Orientierte Projekt Planung (ZOPP) ,SWOT Analysis, dan
lain sebagainya, atau penggabungan berbagai metode perencanaan partisipatif
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi desa setempat. Titik kritis peran
pendamping yang harus dihindari adalah timbulnya “outsider bias” karena
fasilitator memerankan diri sebagai orang luar, dan pendampingan jangan sampai
menciptakan ketergantungan daripada menciptakan kemandirian.
Menuju Pembangunan Desa
yang Partisipatif dan Berkelanjutan
Pemasalahan pembangunan
desa, termasuk lemahnya kelembagaan desa mengharuskan perlunya pemikiran kembali
terhadap pendekatan yang pernah dilakukan selama ini. Pendekatan top-down, dan
mencuatnya ego sektoral membuat setiap Dinas/Instansi melakukan kegiataannya
secara sendiri-sendiri tanpa adanya komunikasi dan koordinasi yang jelas antar stakeholders.
Dengan dasar tersebut, maka untuk peningkatan efektifitas pembangunan desa
berkelanjutan dan termasuk kelembagaan diperlukan keterpaduan kerja dari semua
pihak yang terkait. Koordinasi dan kerjasama yang efektif akan bermanfaat tidak
saja dalam menyatukan visi dan mengintegrasikan missi, tetapi juga dalam
mengatasi adanya duplikasi pelayanan, pemborosan dana, jurang (gap)
pelayanan, serta aksesibilitas dan ketersediaan pelayanan.
Koordinasi dan kerjasama
antar stakeholders akan membantu proses konvergensi dan divergensi sumberdaya
bagi proses pembangunan pedesaan. Untuk itu, dalam perencanaan desa hendaknya
juga dikembangkan struktur partisipasi dan pemberdayaan bagi masing-masing
stakeholders. Setiap stakeholder dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan,
implementasi, evaluasi, dan berbagi hasil, yang pada gilirannya melahirkan komitmen
dan tanggung jawab.
Pemerintahan desa yang
otonom akan dapat diwujudkan apabila programprogram pembangunan dari atas tidak
mengedepankan ego sektoral dan Dinas/Instans menempatkan pemerintah desa
“saluran” program-program sektoral. Semua programprogam pembangunan,
bantuan/dukungan teknis dan pendanaan, baik dari Dinas/Instansi Pemerintah,
Swasta, LSM dan lembaga-lembaga lainnya harus melalui Pemerintahan Desa yang
kemudian bersama-sama masyarakat melalui LKMD akan menyesuaikan dengan program
pembangunan desa. Dalam pelaksanaannya, Badan Perwakilan Desa (BPD) harus
melaksanakan fungsi legislasi dan kontrol dalam kedudukan sebagai mitra
pemerintahan desa. Apabila mekanisme yang aspiratif dan partisipatif ini dapat
dikembangkan dalam kerangka pembangunan desa berkelanjutan, maka tujuan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan dapat tercapai.
PENUTUP
Menghadapi tuntutan otonomi
daerah yang harus dimanifestasikan dalam bentuk kesiapan aparat serta seluruh
stakeholders pembangunan dalam pengelolaan pembangunan daerah, diperlukan suatu
proses yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan dalam penentuan
kebijakan dan berbagai pengambilan keputusan publik, sehingga aspirasi
masyarakat dapat tercermin dalam pelaksanaan pembangunan. Pelaksanaan
pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan melalui proses P5D, secara
konseptual telah mencoba melibatkan masyarakat semaksimal mungkin tetapi dalam
kenyataannya menghadapi berbagai kendala sehingga diperlukan revisi dan
pengembangan pola perencanaan pembangunan yang partisipatif, responsif,
transparan, dan akuntabel. Pola perencanaan pembangunan partisipatif tetap
mengikuti alur perencanaan yang sudah ada dengan mengadopsi konsep keterpaduan P5D,
namun denganmemberikan penekanan pada : pelibatan partisipasi aktif semua
peserta forum musyawarah perencanaan, meningkatkan bobot keterwakilan
masyarakat dalam forum perencanaan, meningkatkan pengakomodasian usulan dari bawah
dalam program Dinas sektoral. Agar dapat terakomodir, maka usulan dari bawah harus
memiliki ketajaman prioritas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itu diperlukan
revitalisasi dan penguatan lembaga perencanaan desa, dan memberikan bantuan
pendampingan dalam proses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan,
serta perlu dilakukan desiminasi dokumen Rencana Pembangunan Daerah(Poldas,
Renstra, Repetada) sampai kepada masyarakat desa untuk memberi arah dalam
penyusunan perencanaan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar